ON ROAD IN JOGJAKARTA

Catatan perjalanan 2 hari di kota Yogyakarta by bike Sudah lama sekali keinginan untuk berkeliling kota Jogja dengan bersepeda akhirnya terwujud juga. Berkenalan dengan kota Jogja melalui bersepeda gunung ternyata menimbulkan sensasi tersendiri, selain lebih mampu menjelajah ke daerah-daerah yang tersembunyi juga lebih merasa dekat dengan kota itu sendiri. Jogjakarta yang cukup dikenal sabagai salah satu daerah pariwisata yang terkenal dengan sejarah dan warisan budayanya. Jogja merupakan pusat kerajaan Mataram (1575-1640), dan sampai sekarang ada Kraton (Istana) yang masih berfungsi dalam arti yang sesungguhnya. . Jogja juga memiliki banyak candi berusia ribuan tahun yang merupakan peninggalan kerajaan-kerajaan besar jaman dahulu, di antaranya adalah Candi Borobudur yang dibangun pada abad ke-9 oleh dinasti Syailendra. Selain warisan budaya, Jogja memiliki panorama alam yang indah. Hamparan sawah nan hijau menyelimuti daerah pinggiran dengan Gunung Merapi tampak sebagai latar belakangnya. Pantai-pantai yang masih alami dengan mudah ditemukan di sebelah selatan Jogja.
Atmosfir seni begitu terasa di Jogja. Malioboro, yang merupakan urat nadi Jogja, dibanjiri barang kerajinan dari segenap penjuru. Musisi jalanan pun selalu siap menghibur pengunjung warung-warung lesehan. Perjalanan ini dimulai dari Surabaya, stasiun wonokromo tanggal 4 Juli 2008, kami memilih kereta api kelas ekonomi, karena selain menghemat biaya, satu-satunya kereta api yang mau mengangkuti sepeda gunung kami hanyalah kereta api ekonomi. Akhirnya kami memutuskan untuk naik kereta api pasundan pukul 06.00, dengan biaya Rp 50.000,- per orang plus sepeda, akhirnya kami berangkat juga ke kota Jogjakarta. Namun karena tidak disediakan kereta barang, maka kami meletakkan sepeda-sepeda kami diantara gerbong dekat pintu masuk. Cukup merepotkan juga karena akhirnya kami harus menunggui sepeda kami selama perjalanan menuju stasiun lempuyangan. Pukul13.30 akhirnya tiba juga kami di stasiun lempuyangan, “SELAMAT DATANG DI JOGJA”. Karena siang begitu terik kami memilih beristirahat sejenak di musholla stasiun, sebelum memulai perjalanan. Pukul 14.00 kami pun mulai beranjak keluar dari stasiun dan yang kami tuju pertama adalah mencari tempat untuk mengisi perut, tidak begitu jauh, masih di sekitar area stasiun. Pukul 14.30 kami mulai bersiap-siap menjelajah kota Jogja dengan tujuan selanjutnya mencari penginapan di daerah Sosrokusuman. Segera saja kami buka peta kota Jogja yang sudah kami persiapkan dari awal. Kebetulan aku satu-satunya yang mahir membaca peta (hehehehehh), jadi lembar peta aku lipat tepat dibagian daerah saat itu kami berada. Aku pasang di setang sepeda dan melajulah kami mengikuti peta. Tidak begitu sulit, karena menurut peta daerah Sosrokusuman ada di dekat kawasan Malioboro dan itu juga tidak begitu jauh dari stasiun Lempuyangan. Ternyata Sosrokusuman adalah nama gang yang didalamnya adalah kawasan penginapan. Begitu banyak penginapan disana mulai dari tariff ratusan ribu per hari sampai yang termurah yang kami tahu sekitar Rp 40.000. Kami memilih seharga Rp 50.000, dengan pertimbangan, pasti banyak waktu yang dihabiskan di luar penginapan, jadi yang penting bersih serta kamar mandi ada di dalam. Setelah beristirahat sejenak selama kurang lebih 1 jam, pukul 16.00 kami memulai rencana kami. Hari ini kami berencana menuju Alun-alun utara kota jogja, Kraton Jogja, Pemandian Taman Sari (tempat Sultan HB 1 dan 3), Pura wisata, alun-alun selatan dan ditutup dengan jalan-jalan disekitar kawasan Malioboro. Di alun-alun utara tidak banyak yang dilihat, selain berputar – putar dan berpose didepan kraton Jogja, namun di pemandian Taman Sari suasananya begitu berbeda, apalagi kita sampai disana sekitar pukul 5 sore. Taman Sari adalah peninggalan masa Sultan Hamengkubuwono 1 dan 3. Lokasinya sendiri terdiri dari beberapa bagian yang terpisah. Pemandiannya sendiri letaknya tertutup, jadi kami harus melewati jalan sempit yang curam untuk bisa melihat keindahan pemandian dari atas. Pemandian tersebut digunakan untuk selir-selir raja. Ditengah pemandian terdapat menara kecil, yang konon tempat raja “mengintip” selir-selirnya. Disaat itulah raja akan menentukan pilihan bagi siapa yang menemani raja pada malam hari. Di kawasan itu juga terdapat bekas istana yang sayangnya kondisinya sudah rusak berat akibat gempa terakhir yang melanda kota Jogja. Dengan berhati-hati kami mencoba naik kesana. Dari atas istana itu kami bisa melihat keindahan kota Jogja, apalagi dimalam hari, begitu indah. Pada masa kesultanan dulu, tempat itu adalah tempat tertinggi di kerajaan. Dimana ketika menghadap ke selatan akan terhampar keindahan gunung merapi dan sebelah utara adalah lautan (sebelum adanya kota Jogja). Disekitar kawasan itu, masyarakat mayoritas bekerja sebagai pengrajin, mulai dari lukisan, batik, ukir-ukiran dll. Mereka menempati daerah itu secara Cuma-Cuma, dengan syarat rumah atau tanah yang ditempati tidak boleh dibeli atau dijual. Karena masih dianggap hak milik kerajaan. Rute selanjutnya adalah Pura wisata, kami tidak masuk kedalamnya hanya melihat bagian depan, karena ternyata pura wisata adalah semacam tempat hiburan, yang menyajikan acara musik untuk masyarakat setempat. (mungkin seperti Taman Hiburan Remaja Surabaya). Setelah itu kami menuju Alun-alun selatan, menghabiskan penat disana dengan menikmati wedang ronde khas Jogja. (hmm…. Enak…). Acara hari itu kami akhiri dengan berjalan – jalan disekitar Malioboro. Hari kedua, perjalanan kami fokuskan pada situs-situs peninggalan sejarah. Kami berencana menuju kawasan candi. Yang pertama kami tuju adalah candi Pawon. Letak Candi Pawon ini berada di antara candi Mendut dan candi Borobudur, tepat berjarak 1750 meter dari candi Borobudur dan 1150 m dari Candi Mendut. Menurut catatan yang tertulis, candi Pawon dipugar tahun 1903. Dan kata Pawon berasal dari bahasa Jawa Awu yang berarti abu, dalam bahasa Jawa sehari-hari kata pawon berarti dapur. Suatu hal yang menarik dari Candi Pawon ini adalah ragam hiasnya. Dinding-dinding luar candi dihias dengan relief pohon hayati (kalpataru). Selanjutnya, kami menuju candi Mendut. Candi Mendut adalah sebuah candi berlatar belakang agama Buddha. Candi ini terletak di desa Mendut, kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, beberapa kilometer dari candi Borobudur. Menurut catatan sejarah yang tertulis disitu, Candi Mendut didirikan semasa pemerintahan Raja Indra dari dinasti Syailendra. Di dalam prasasti Karangtengah yang bertarikh 824 Masehi, disebutkan bahwa raja Indra telah membangun bangunan suci bernama venuvana yang artinya adalah hutan bambu. Oleh seorang ahli arkeologi Belanda bernama J.G. de Casparis, kata ini dihubungkan dengan Candi Mendut. Bahan bangunan candi sebenarnya adalah batu bata yang ditutupi dengan batu alam. Bangunan ini terletak pada sebuah basement yang tinggi, sehingga tampak lebih anggun dan kokoh Atapnya bertingkat tiga dan dihiasi dengan stupa-stupa kecil. Hiasan yang terdapat pada candi Mendut berupa hiasan yang berselang-seling. Dihiasi dengan ukiran makhluk-makhluk kahyangan berupa bidadara dan bidadari, dua ekor kera dan seekor garuda. Di dalam induk candi terdapat arca Buddha besar berjumlah tiga. Dan sekarang di depan arca Buddha diletakkan hio-hio dan keranjang untuk menyumbang. Para pengunjung bisa menyulut sebuah hio dan berdoa di sini. Persis di sebelah candi Mendut terdapat vihara Buddha Mendut. Vihara ini dahulunya adalah sebuah biara Katholik yang kemudian tanahnya dibagi-bagi kepada rakyat pada tahun 1950-an. Lalu tanah-tanah rakyat ini dibeli oleh sebuah yayasan Buddha dan di atasnya dibangun vihara. Dalam vihara ini terdapat asrama, tempat ibadah, taman, dan beberapa patung Buddha. Beberapa di antaranya adalah sumbangan dari Jepang. Dan tujuan terakhir adalah candi Borobudur, Borobudur adalah nama sebuah candi Buddha yang terletak di Borobudur, Magelang. Yang artinya "gunung" (bhudara) di mana di lereng-lerengnya terletak teras-teras. Pendiri Borobudur adalah raja dari dinasti Syailendra bernama Samaratungga sekitar 824 M dan pembangunan Borobudur diperkirakan memakan waktu setengah abad. Candi Borobudur berbentuk punden berundak, yang terdiri dari enam tingkat berbentuk bujur sangkar, tiga tingkat berbentuk bundar melingkar dan sebuah stupa utama sebagai puncaknya. Selain itu tersebar di semua tingkat-tingkatannya beberapa stupa. Struktur Borobudur tidak memakai semen sama sekali, melainkan sistem interlock yaitu seperti balok-balok Lego yang bisa menempel tanpa lem. Perjalanan menuju kawasan candi ini kami mulai pagi hari, pukul 06.00 berangkat dari penginapan menuju terminal Jombor. Karena perjalanan cukup jauh kami memutuskan untuk menitipkan sepeda kami di terminal dan menggunakan bus (perjalanan kurang lebih 1,5 jam). Untuk berkeliling di 3 kawasan candi itu kami menggunakan jasa delman dengan ongkos Rp 30.000,- Dari kawasan ini kami menuju pusat kerajinan perak Kota Gede dan juga melihat masjid tertua disana. Dari terminal Jombor, kami bersepeda lagi menuju Kota Gede. Karena perjalanan lumayan panjang, tepat sebelum maghrib kami tiba. Masjid Kota Gede lebih mirip seperti pendopo, terdapat pintu gerbang ketika memasukinya. Dan dibagian samping dan belakang terdapat bangunan, semacam rumah-rumah dan ruang – ruang atau bale-bale. Dibagian samping terdapat rumah penjaga masjid dan bale-bale tempat raja dan pembesar kerajaan berkumpul. Dan dibagian belakang terdapat makam raja-raja. Setelah merasakan sholat maghrib di masjid tertua, kami kembali ke penginapan untuk berkemas dan menghabiskan malam di Malioboro. Bersiap-siap pulang ke kota Surabaya dengan kereta pertama…………………………………………………… (291008)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Comments

0 comments: