TENTANG DINI
Sudah beberapa kali setiap aku melewati perempatan ini, selalu kutemukan anak itu. Dia sepertinya sudah menanti kehadiran pengendara – pengendara motor sepertiku dengan senang hati. Seperti biasa aku melewati jalanan itu tepat pukul empat sore, sepulang kerja. Dan memang pada jam – jam segini adalah waktu dimana jalanan begitu padat dengan pengguna jalan raya. Dari kejauhan kulihat lampu traffic light yang mulai berganti merah, dan dengan perlahan laju motorku kuhentikan. Kembali kulihat anak itu berlari-lari sambil membawa bekas bungkus permen relaxa, kuamati wajahnya cukup manis, mungkin umurnya sekita 6-8 tahunan. Wajah manisnya tidak juga hilang, meski rambutnya berantakan terkena tiupan angin atau entah mungkin sengaja tidak dirapikan. Wajahnya tidak begitu kurus namun kotor oleh debu jalanan. Bajunya terlihat lusuh yang warnanya sudah pudar, entah putih atau coklat, yang berupa kaos dan celana pendek. Kakinya telanjang dan kotor tidak menggunakan alas kaki di panasnya jalanan aspal.
Sambil menyodorkan kantung permennya, mulutnya tak henti-hentinya mengucap, “ nyuwun mas, mbak….sak welase, during mangan mas…/mbak…”(1). Ketika dia berhenti didepanku, mata beningnya menatap wajahku yang tersembunyi dibalik helm standar. Spontan kugelengkan wajahku, ketika teringat slogan diperempatan jalan Margorejo yang berbunyi “ DENGAN MEMBERIKAN UANG PADA PENGEMIS DAN PEMINTA-MINTA, SEMAKIN ANDA TIDAK MEMBANTU MEREKA” slogan dari kepolisian Surabaya. Dan pas kebetulan juga lampu traffic light sudah berubah hijau. Perlahan kupacu sepedaku meninggalkannya namun masih teringat sorot matanya dibenakku.
Seperti hari ini juga diwaktu yang sama, sengaja aku ingin berhenti diperempatan itu, dengan melambatkan kendaraanku, kutebarkan pandangan disekitar lampu lalu lintas itu. Kulihat dia mulai berdiri di trotoar sepertinya bersiap untuk menyeberang. Sambil menggenggam bungkus permennya dia mulai berkeliling dengan gesit diantara motor-motor dan akhirnya sampailah didepanku, sengaja kusiapkan uang ribuan dan dengan cepat kumasukkan kedalam kantong permennya. Setelah selesai berputar-putar dan sepertinya sebagian besar orang-orang yang diacungi bungkus permennya banyak yang menggeleng, kulihat dia kembali ke trotoar tempatnya berdiri tadi. Dan terlihat juga seorang ibu sedang duduk menunggu di celah tembok diantara pertokoan, diberikannya bungkus permen tadi pada si ibu. Hah? Pikirku, belum sempat berpikir panjang, motor dibelakangku sudah membunyikan klakson membuatku terkejut dan kulirik ..wah lampu hijau….. hari ini benakku semakin dipenuhi tanya tentang anak itu.
Keesokan harinya, kutelusuri lagi jalanan itu, kucoba menghentikan motorku didepan pertokoan itu, menunggu gadi pembawa bungkus permen itu menghampiriku. Benar saja, tak berapa lama gadis kecil itu datang.
“Nyuwun mbak…,”(2) katanya.
“Siapa namanya?”, tanyaku.
“Dini mbak..”, jawabnya.
“Sudah sekolah kelas berapa? “tanyaku.
“Belum mbak, kata ibu nanti kalau punya uang baru sekolah?”katanya.
“Ooo.. nih!” kataku sambil menyisipkan uang ribuan ke kantong permennya.
“Suwun mbak”.(3) katanya sambil berlari-lari kecil menuju seorang wanita yang duduk dicelah tembok pertokoan. Kuamati ibu itu, sekitar setengah baya, mungkin umurnya sekitar 30 tahunan, sedang duduk diatas “bok”(4) terbuat dari batu. Pandangannya kosong, kelihatannya sedang melamun, tidak tahu apa yang dipikirkannya. Penampilannya rapi meskipun terlihat agak lusuh.
Sambil menjalankan motorku pelan-pelan, aku memikirkan ibu dan gadis tadi, kenapa dia begitu tega menyuruh anaknya berkeliaran dijalanan. Padahal jalanan begitu ramai oleh kendaraan yang terkedang pengemudinya tidak mau tahu akan keselamatan orang lain.
Beberapa hari berikutnya, aku melewati jalan itu agak berbeda. Tidak seperti biasanya, perempatan ini begitu padat akan kendaraan, antrean kendaraan begitu panjang. Sampai harus berhenti dua kali di traffic light yang sama. Kucoba bertanya pada bapak yang ada disampingku, “Ada apa pak, kok macet?”.
“Ada obrakan(5) mbak”, jawabnya.
“Obrakan?, tanyaku.
“Iya mbak satpol PP lagi razia PKL sama pengemis di siola,”katanya lagi.
Aku Cuma menjawab dengan menganggukkan kepala, teringat Dini dan ibunya, bagaimana nasibnya ya?.....Lampu hijau menandakan aku harus berjalan lagi, sambil melihat-lihat sekitarku, kulihat jalanan trotoar begitu ramai. Beberapa petugas berbaju coklat sambil membawa pentungan berjalan mondar-mandir. Para pedagang yang berusaha menyelamatkan barang dagangannya terlihat tergesa-gesa meringkas barang-barangnya. Diatas bak truk terlihat beberapa barang seperti tripleks bekas dan meja-kursi bercampur dengan beberapa pengemis yang berhasil mereka ciduk, terdengar juga suara bayi menangis. Entah mau dibawa kemana mereka… Memang kompleks pertokoan Siola Surabaya terkenal dengan pedagang kaki lima. Biasanya di sepanjang trotoar itu banyak terlihat orang-orang yang hanya berbekal selembar kain atau kardus, menggelar aneka macam dagangan, mulai dari topi, kaos, jam tangan, aksesoris imitasi sampai vcd bajakan pun ada. Dan razia dari petugas satpol PP pun sudah berulang kali dilakukan, tapi mereka tak kunjung jera, alasannya sama yaitu urusan perut. Meskipun mereka harus main petak umpet dengan petugas.
Setelah kejadian itu, tak pernah kulihat lagi dini dan ibunya diperempatan itu. Setiap melewati jalanan itu, tidak lagi kutemui gadis pembawa kantong permen itu. Tidak tahu bagaimana nasibnya dia?
(Sby, 29/06/08, mencoba menulis, r-ishaa)
Catatan kaki:
(1) nyuwun mas, mbak….sak welase, during mangan mas…/mbak = minta kak… seikhlasnya, belum makan kak..
(2) Nyuwun mbak = minta kak
(3) Suwun mbak = terima kasih kak
(4) bok = tempat duduk kecil yang terbuat dari batu atau semen
(5) obrakan = razia
0 comments:
Post a Comment